Point 5: Surodiro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti
OPINI | 06 November 2013 | 13:39
Mengarungi Badai Rasa
Betapa sering kita mengiba diri, melihat diri secara berlebihan
ketika kesulitan menghimpit, maka seolah dirinyalah yang paling menderita
seolah masalah dirinyalah yang paling berat
seolah masalahnya tidak akan mampu bila dialami oleh orang lain
selalu begitu adanya, selalu dirinya dan dirinya sendiri
Itulah keyakinan, dan semua ini ada dalam koridor keyakinan. Itulah gunanya menumbuhkan keyakinan.
Perjalanan jiwa, mensucikan jiwa, mengolah rasa jiwa manusia ini dalam pepatah lama jawa
bisa dikaitkan dengan pepatah:
“Suro diro jayaningrat, lebur dening pangastuti” atau dalam bahasa Jawa kunonya “Sura sudira jayanikang rat, swuh brastha tekaping ulah dharmastuti”
Kata-kata yang mendasari kalimat “Surodiro Joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti”
semuanya mengandung sifat-sifat yang ada di dalam diri manusia.
arti kalimat “Surodiro Joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti adalah
Semua Keberanian,
Kekuatan,
Kejayaan,
dan Kemewahan yang ada di dalam diri manusia
yang menimbulkan kerusakan, ketakaburan, kelicikan dan angkara murka
akan dikalahkan, dihancurkan oleh
Kebijaksanaan,
Kasih Sayang,
dan Kebaikan yang ada di sisi lain dari manusia itu sendiri.
Point 5: Kenali sisi rasa baik dalam jiwa kita sendiri
sisi baik ini akan selalu mengalahkan sisi buruk
referensi rasa-rasa jiwa ini dijelaskan oleh semua agama.
Agama bertujuan untuk mensucikan jiwa manusia
Menguatkan sisi jiwa yang baik dan meredam sisi jiwa yang buruk.
Betapa sering kita mengiba diri, melihat diri secara berlebihan
ketika kesulitan menghimpit, maka seolah dirinyalah yang paling menderita
seolah masalah dirinyalah yang paling berat
seolah masalahnya tidak akan mampu bila dialami oleh orang lain
selalu begitu adanya, selalu dirinya dan dirinya sendiri
aku … aku …diriku
iba diri yang berlebihan, rasa demi rasa yang seolah tak mampu ditanggung
begitu berat menekan, dada terasa sempit, ketakutan, kecemasan
duka cita, kecewa, tergesa-gesa, khawatir, keraguan, kegelisahan
rasa demi rasa yang begitu berat menekan, mencengkeram
menghempaskan dirinya tanpa ampun, tak bersisa, jatuh tersungkur tak berdaya
begitu berat menekan, dada terasa sempit, ketakutan, kecemasan
duka cita, kecewa, tergesa-gesa, khawatir, keraguan, kegelisahan
rasa demi rasa yang begitu berat menekan, mencengkeram
menghempaskan dirinya tanpa ampun, tak bersisa, jatuh tersungkur tak berdaya
badai rasa yang mengharu biru
dan kita harus mengarungi badai itu … menempuh badai
terus bertanya: Kapan badai berlalu
yang diinginkan adalah terbebas dari itu, terbebas dari rasa itu semua
yang diinginkan adalah ketenangan, kedamaian, kebahagiaan
namun tiada juga pernah menghampirinya, bahkan semakin lama semakin berat
dan semakin bertambah berat, rasanya tiada mampu lagi hidup di dunia ini
maka seolah kematian saja yang akan menyelesaikan masalahnyaBisa saja seseorang saat ini yang sedang bahagia, akan tertawa mencibir dan mencemooh, mengejek,
namun besiap pulalah dia, ketika tiba saatnya, yaitu apabila seorang yang dia kasihi mengkhianati,
atau seorang yang dia cintai meninggalkan sendiri, atau mungkin saja dirinya tertimpa musibah
atau mengalami kehancuran, tertimpa masalah tiada jalan keluar, atau kesulitan apapun
maka akibatnya pada dirinya akan sama pula, tiada beda, dirinyapun akan terkapar dalam tangis.
yang diinginkan adalah ketenangan, kedamaian, kebahagiaan
namun tiada juga pernah menghampirinya, bahkan semakin lama semakin berat
dan semakin bertambah berat, rasanya tiada mampu lagi hidup di dunia ini
maka seolah kematian saja yang akan menyelesaikan masalahnyaBisa saja seseorang saat ini yang sedang bahagia, akan tertawa mencibir dan mencemooh, mengejek,
namun besiap pulalah dia, ketika tiba saatnya, yaitu apabila seorang yang dia kasihi mengkhianati,
atau seorang yang dia cintai meninggalkan sendiri, atau mungkin saja dirinya tertimpa musibah
atau mengalami kehancuran, tertimpa masalah tiada jalan keluar, atau kesulitan apapun
maka akibatnya pada dirinya akan sama pula, tiada beda, dirinyapun akan terkapar dalam tangis.
derita…duka nestapa …. penderitaan…kesedihan…kedukaan.
betapa kita sering merasa seolah siap dan sanggup untuk bersabar, sanggup menghadapi derita
namun ketika kenyataan itu terjadi, tetap saja “rasa” yang hadir terasa menggerogoti jantung,
seolah terasa diremas-remas, ditarik, menyesak dan sangat menyiksa, jiwa terasa sempit, kecil dan terpasung
jiwa telah terpenjara dalam sempitnya raga.
namun ketika kenyataan itu terjadi, tetap saja “rasa” yang hadir terasa menggerogoti jantung,
seolah terasa diremas-remas, ditarik, menyesak dan sangat menyiksa, jiwa terasa sempit, kecil dan terpasung
jiwa telah terpenjara dalam sempitnya raga.
badai rasa (derita) itu terasa sangat dahsyat dan meluluhlantakkan semua kesanggupan
Rasa-rasa derita ini sepertinya sudah sangat dikenali, sudah sangat biasa, dan kita mengerti
bahkan sering pula merasakan, namun bagaimana rasa sebaliknya?
apakah kita bisa mengenali lawan dari rasa tersebut, lalu apakah tingkat atau kualitas dari rasa itu
mampu menimbulkan dampak yang sama atau sebesar rasa negatif ini
atau bahkan mungkin jauh lebih kuat lagi.
bahkan sering pula merasakan, namun bagaimana rasa sebaliknya?
apakah kita bisa mengenali lawan dari rasa tersebut, lalu apakah tingkat atau kualitas dari rasa itu
mampu menimbulkan dampak yang sama atau sebesar rasa negatif ini
atau bahkan mungkin jauh lebih kuat lagi.
Sebut saja rasa sebaliknya adalah
sabar, pasrah, berserah diri, tawakal yang akan dapat diamati dalam bentuk
sabar, pasrah, berserah diri, tawakal yang akan dapat diamati dalam bentuk
rasa tenang
rasa damai, rasa teduh, rasa bahagia
rasa damai, rasa teduh, rasa bahagia
dan puncaknya adalah rasa syukur.Mengamati rahsa-rahsa
Rasa-rasa diatas dibangun seperti membangun kahyangan, atau kahyangan rahsa-rahsa
yaitu kahyangan rahsa iman, kahyangan rahsa pasrah, kahyangan rahsa sabardan kahyangan
rahsa tawakal. Kahyangan rahsa iman telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Bagian ini sebetulnya akan mencoba menjelaskan tentang membangun kahyangan rahsa-rahsa,
yaitu rahsa pasrah, rahsa berserah diri, rahsa sabar dan rahsa tawakal.
Rahsa-rahsa ini sangat aneh, sepertinya sangat kita kenal, seolah sangat dimengerti, dan sangat diketahui,
namun terasa sangat ajaib, yaitu ketika realitas rahsa negatif yang muncul, kita berpendapat seharusnya rahsa ini
akan mampu menghadapi apapun yang terjadi, tetapi nyatanya tidak.
Betapa sangat berat menghadapi hantaman badai kehidupan. Segenap rahsa ini seolah menjadi tiada daya
dan tiada guna. Rahsa sabar hanya menjadi hiasan bibir, demikian pula rahsa yang lainnya.
Bagaimana manusia mengenali rasa dan rahsa?
Rasa-rasa diatas dibangun seperti membangun kahyangan, atau kahyangan rahsa-rahsa
yaitu kahyangan rahsa iman, kahyangan rahsa pasrah, kahyangan rahsa sabardan kahyangan
rahsa tawakal. Kahyangan rahsa iman telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Bagian ini sebetulnya akan mencoba menjelaskan tentang membangun kahyangan rahsa-rahsa,
yaitu rahsa pasrah, rahsa berserah diri, rahsa sabar dan rahsa tawakal.
Rahsa-rahsa ini sangat aneh, sepertinya sangat kita kenal, seolah sangat dimengerti, dan sangat diketahui,
namun terasa sangat ajaib, yaitu ketika realitas rahsa negatif yang muncul, kita berpendapat seharusnya rahsa ini
akan mampu menghadapi apapun yang terjadi, tetapi nyatanya tidak.
Betapa sangat berat menghadapi hantaman badai kehidupan. Segenap rahsa ini seolah menjadi tiada daya
dan tiada guna. Rahsa sabar hanya menjadi hiasan bibir, demikian pula rahsa yang lainnya.
Bagaimana manusia mengenali rasa dan rahsa?
Manusia secara garis besarnya dibagi menjadi dua hakekat:
nafs dan ruh
sedangkan nafs itu meliputi:
nafs dan ruh
sedangkan nafs itu meliputi:
- Tubuh/raga
- Hawa atau yang teramati adalah rasa
sedangkan ruh itu juga meliputi dua hal
sedangkan ruh itu juga meliputi dua hal
- Daya hidup atau gerak atau energy yaitu kemampuan menggerakkan raga, juga kemampuan menggunakan hawa, kemampuan merasakan
- Kesadaran yaitu meliputi akal jasmani dan akal ruhani, kemampuan belajar, kemampuan mengenal, mengamati dsb.
(Catatan: Definisi di atas ini hanya untuk menyederhanakan masalah atau apa yang akan dibicarakan berikut ini).
- Kesadaran yaitu meliputi akal jasmani dan akal ruhani, kemampuan belajar, kemampuan mengenal, mengamati dsb.
(Catatan: Definisi di atas ini hanya untuk menyederhanakan masalah atau apa yang akan dibicarakan berikut ini).
Ketika bicara rasa, maka kita harus membicarakan indera perasa,
indera perasa sangat sensitive namun juga “subyektif”.
Ketika baru tiba dari tempat yang sangat panas ke tempat udara “normal”, dia akan berkata dingin
Namun ketika datang dari udara dingin, kita akan berkata “panas”.
Maka indera perasa perlu diasah dan dipertajam, agar mampu lebih “obyektif”.
Ketajaman indera perasa inilah yang perlu di asah
yaitu dengan mencoba “berbagai rasa” seperti misalnya mencoba berbagai macam rasa buah-buahan
Mengasah indera perasa jiwa yaitu dengan
mengamati bermacam-macam rasa yang melanda jiwa,
senang, sedih, kecewa, duka dsb.
agar mampu membangun referensi “rasa” dari pemahaman yang benar, terutama yang berasal dari pengalaman.
sehingga indera perasa jiwa akan lebih “obyektif”.
Tentu saja sulit untuk mengerti perjalanan rasa yang sangat luar biasa dan demikian pula pastikita
tidak akan mampu mengalami perjalanan rasa ini satu demi satu.
tidak akan mampu mengalami perjalanan rasa ini satu demi satu.
Kisah tentang ini referensinya ada dalam Al Quran, yang membicarakan tentang ciri-ciri
Dan keadaan orang-orang yang mengalami rasa demi rasa ini. Rasa menentang, rasa patuh, munafik, kafir dsb.
Itulah Al Quran, yang hampir sebagian besar berisi kisah-kisah nyata jaman dahulu
Yang menceritakan tentang rasa, kisah-kisah dalam Al Quran inilah yang harus dijadikan “referensi”.
memahami tanpa perlu mengalami menjadi seorang munafik, atau menjadi kafir, misalnya,
karena Al Quran telah menjelaskan secara detail rasanya menjadi munafik dan kafir.
memahami tanpa perlu mengalami menjadi seorang munafik, atau menjadi kafir, misalnya,
karena Al Quran telah menjelaskan secara detail rasanya menjadi munafik dan kafir.
Perjalanan jiwa, mensucikan jiwa, mengolah rasa jiwa manusia ini dalam pepatah lama jawa
bisa dikaitkan dengan pepatah:
“Suro diro jayaningrat, lebur dening pangastuti” atau dalam bahasa Jawa kunonya “Sura sudira jayanikang rat, swuh brastha tekaping ulah dharmastuti”
Kata-kata yang mendasari kalimat “Surodiro Joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti”
semuanya mengandung sifat-sifat yang ada di dalam diri manusia.
arti kalimat “Surodiro Joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti adalah
Semua Keberanian,
Kekuatan,
Kejayaan,
dan Kemewahan yang ada di dalam diri manusia
yang menimbulkan kerusakan, ketakaburan, kelicikan dan angkara murka
akan dikalahkan, dihancurkan oleh
Kebijaksanaan,
Kasih Sayang,
dan Kebaikan yang ada di sisi lain dari manusia itu sendiri.
Point 5: Kenali sisi rasa baik dalam jiwa kita sendiri
sisi baik ini akan selalu mengalahkan sisi buruk
referensi rasa-rasa jiwa ini dijelaskan oleh semua agama.
Agama bertujuan untuk mensucikan jiwa manusia
Menguatkan sisi jiwa yang baik dan meredam sisi jiwa yang buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar